Sabtu, 28 November 2009

PENGARUH NILAI WAJAR 1

Judul asli tulisan ini “Pengaruh Nilai Wajar Ekuitas Terhadap Harga Saham Perusahaan di Bursa Efek Jakarta”, diajukan sebagai Tesis pada Program Pasca Sarjana, Magister Akuntansi STIE Swadaya Jakarta)

Oleh:
Marsen Keliat



ABSTRAK



Tulisan ini menganalisis pengaruh nilai wajar ekuitas terhadap harga saham perusahaan. Analisis dilakukan terhadap sampel sebanyak 100 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi, yang bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh dan besar pengaruh variabel independen terhadap variabel dependennya.

Variabel independen yang digunakan adalah 9 model nilai wajar yang diperoleh berdasarkan tiga metode, yaitu direct capitalization, excess earnings dan economic value added, dan tiga tolok ukur, yaitu laba akuntansi, laba ekonomi dan arus kas. Sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah harga saham penutupan (closing price) rata-rata pada bulan Januari tahun berikutnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai wajar yang dianalisis berpengaruh signifikan terhadap harga saham perusahaan. Sedangkan variabel yang paling berpengaruh adalah nilai wajar berdasarkan metode excess earnings dengan tolok ukur laba ekonomi. Temuan ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya, diantaranya Miller dan Modigliani (1961) yang menyatakan bahwa sumber yang paling mendasar atas saham adalah laba.

Temuan lainnya adalah bahwa metode yang berbeda ternyata menghasilkan besaran pengaruh yang berbeda. Jika menggunakan metode direct capitalization tolok ukur laba akuntansi berpengaruh lebih nyata dibanding laba ekonomi akan tetapi jika menggunakan metode excess earnings atau economic value added tolok ukur laba ekonomi berpengaruh lebih nyata dibanding laba akuntansi atau arus kas.

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Batasan Masalah
3. Rumusan Masalah
4. Tujuan
5. Sasaran
6. Kegunaan
BAB II. LANDASAN TEORITIS
1. Tinjauan Pustaka
1.1. Konsep Nilai
1.2. Peranan Laporan Keuangan
1.3. Pendekatan dan Metode Penilaian
1.4. Laba Akuntansi, Laba Ekonomi dan Arus Kas
1.5. EVA vs Excess Earnings
1.6. Weighted Average Cost of Capital
1.7. Beta Risiko
1.8. Penelitian Terdahulu
2. Kerangka Berpikir
3. Hipotesis
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
1. Teknik Penelitian
2. Sumber Data dan Penetapan Sampel
3. Tahapan Penelitian
4. Pengukuran Variabel
5. Teknik Analisis
BAB IV. HASIL PENELITIAN
1. Data Penelitian
2. Statistik Deskriptif
3. Uji Reliabilitas dan Normalitas
4. Uji Hipotesis
5. Uji Statistik
6. Pembahasan
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 61
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP


BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Masalah nilai dan pengukurannya sudah lama menjadi isu ekonomi, khususnya akuntansi. Prinsip akuntansi sejak awal dibangun dengan metode nilai historis atau historical cost untuk mengukur transaksi perusahaan. Dengan penerapan prinsip ini maka informasi akuntansi menyajikan informasi yang bersifat historis yang dikenal dengan nilai buku atau "book value". Namun karena situasi ekonomi yang tidak bisa lepas dari perubahan nilai maka lama-kelamaan nilai buku menjadi tidak relevan sebagai alat ukur perusahaan, dan jaraknya semakin lama semakin jauh dengan nilai pasar atau market value yang diukur berdasarkan harga saham perusahaan di Bursa.

Penelitian mengenai hubungan antara nilai buku dan nilai pasar ini sudah banyak dilakukan, diantaranya hubungan antara indikator mikro dan makro terhadap nilai buku dan harga pasar perusahaan (Jacob dan Harahap, 2004), evaluasi kegunaan ratio keuangan dalam memprediksi laba dimasa yang akan datang (Warsidi dan Pramuka, 2000), analisa faktor penentu price to book value saham dalam keputusan investasi pada perusahaan go publik di Bursa Efek Jakarta (Irwin dan Sudjono, 2003). Sebelumnya penelitian yang dilakukan Fama dan French (1992) menemukan bahwa rata-rata semakin besar ratio nilai buku terhadap nilai pasar akan semakin tinggi rate of return. Dari hasil-hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa nilai buku tidak dapat dijadikan pedoman dalam keputusan investasi karena adanya perbedaan yang semakin lama semakin melebar terhadap nilai pasarnya.

Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk meneliti masalah tersebut, melainkan sisi lain dari nilai ekuitas, yaitu nilai wajar. Istilah nilai wajar atau disebut juga nilai pasar wajar (fair market value) ini sebenarnya lebih banyak digunakan oleh kalangan profesi penilai (appraisal), sedangkan dalam buku-buku akuntansi pada umumnya lebih dikenal dengan sebutan nilai intrinsik. Menurut Jogianto (2003) disebut nilai intrinsik atau nilai fundamental atau nilai riel, sedangkan oleh Sharpe, Alexander dan Bailey (2006) disebut nilai instrinsik atau nilai wajar. Menurut Sharpe, Alexander dan Bailey (2006) nilai intrinsik atau nilai wajar merupakan nilai sebenarnya dari saham suatu perusahaan sehingga apabila harga saham lebih tinggi dari nilai wajar per saham disebut overvalue dan apabila harga saham lebih rendah dari nilai wajar disebut undervalue.

Ada tiga ratio khusus yang aplikabel bagi investor dalam melihat mahal-murahnya harga saham, rasio khusus tersebut adalah price earning ratio (PER), price to book value (PBV) dan nilai instrinsik. Bila harga satu saham jauh diatas nilai intrinsiknya maka menggambarkan sudah mahal, sebaliknya jika harga saham masih jauh dibawah nilai intrinsiknya maka menggambarkan masih murah (Wahyudi, 2005).

Dibandingkan dengan nilai buku yang dengan mudah dapat dilihat dari laporan keuangan perusahaan, nilai intrinsik agak rumit, diperoleh dengan melakukan analisis terhadap kondisi fundamental perusahaan (Jogianto, 2003). Secara garis besarnya ada dua pendekatan yang dapat dipergunakan untuk menganalisis kondisi fundamental guna meperkirakan nilai wajar ekuitas suatu perusahaan, yaitu pendekatan deviden dan pendekatan laba (Sharpe, Alexander dan Baliley, 2006). Akan tetapi di kalangan profesi penilai umumnya lebih diarahkan pada pendekatan laba atau arus kas, baik laba atau arus kas dimasa lalu, sekarang maupun perkiraan dimasa akan datang (Ruky, 1999). Menurut Sharpe, Alexander dan Bailey (2006) terdapat banyak cara atau metode untuk menerapkan pendekatan analisa fundamental guna mengidentifikasi nilai saham, baik yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan metode yang disebut kapitalisasi pendapatan, diantaranya : model tanpa pertumbuhan (zero growth model), model pertumbuhan tetap (constant growth model) dan model pertumbuhan bertahap (multiple growth model). Sedangkan menurut Ruky (1999) metode-metode yang banyak digunakan oleh kalangan profesi penilai adalah metode discounted cashflow atau discounted of economic income dan metode excess earning.

Metode lain yang juga populer adalah Economic Value Added (EVA). Menurut Young dan O'Bryne (2001), esensi dari konsep EVA adalah pengemasan ulang manajemen keuangan yang dapat dipercaya dan prinsip keuangan yang sudah lama ada. Teori-teori mengenai nilai wajar atau nilai intrinsik ini banyak ditemukan di buku-buku akuntansi, akan tetapi penelitian yang secara khusus dikaitkan dengan harga saham di Bursa Efek Jakarta belum ada. Namun demikian penelitian dengan variabel kondisi fundamental perusahaan telah dilakukan beberapa peneliti sebelumnya, diantaranya; analisa saham menggunakan Gordon Model (Siahaan, 2003), pengaruh economic value added, residual income, earnings dan arus kas operasi (Pradhono, 2004), pengaruh kondisi fundamental dan teknikal terhadap efisiensi pasar dalam menentukan nilai pasar saham (Lufti, 2005). Dari kondisi sebagaimana diuraikan diatas ada dua alasan mendasar yang mendorong penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang nilai wajar tersebut adalah :
a. Sejauhkah manakah pengaruh nilai wajar ekuitas terhadap harga saham perusahaan di Bursa Efek Jakarta.

b. Diantara metode perhitungan yang diteliti metode manakah yang paling berpengaruh dan dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan investasi di Bursa Efek Jakarta.


2. Batasan Masalah

Penelitian dibatasi dalam kurun waktu 3 tahun. Data laporan keuangan yang digunakan adalah data laporan keuangan yang dipublikasikan untuk periode yang berakhir pada bulan Desember 2002 sampai dengan Desember 2004, sedangkan data harga saham yang dipergunakan adalah harga saham rata-rata selama bulan Januari 2003 dan 2004 dan 2005.

Perusahaan keuangan dan lembaga keuangan, perusahaan underwriter dan perusahaan internet tidak ikut diteliti. Hal ini disebabkan perusahaan keuangan dan lembaga keuangan umumnya mempunyai struktur keuangan yang sangat berbeda dengan perusahaan lain, persentase hutang sangat besar. Perusahaan underwriter dianggap memiliki informasi lebih dibanding yang lainnya sehingga ada kemungkinan terjadi asymetris informasi. Sedangkan perusahaan internet tidak dimasukkan dalam penelitian karena adanya euphoria investor terhadap perusahaan internet sehingga dikhawatirkan terjadi bias hasil penelitian.


3. Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dimuka, rumusan masalah yang akan diteliti dalam tesis adalah :

a. Sejauh manakah pengaruh nilai wajar ekuitas dilihat dari beberapa metode dan tolok ukur perhitungan terhadap harga saham perusahaan di Bursa Efek Jakarta.

b. Diantara metode dan tolok ukur perhitungan yang diteliti metode manakah yang paling berpengaruh terhadap harga saham perusahaan di Bursa Efek Jakarta.


4. Tujuan

Penelitian ini bertujuan :

a. Untuk mengidentifikasi hal-hal yang berkaitan dengan analisis fundamental guna memperkirakan nilai wajar ekuitas.

b. Untuk mengetahui pengaruh nilai wajar ekuitas terhadap harga saham perusahaan di Bursa Efek Jakarta.

c. Diperoleh suatu model prediksi harga saham yang dapat memprediksi harga dalam pasca pengumuman laporan keuangan perusahaan.


5. Sasaran

Diperoleh suatu model prediksi atas dasar nilai wajar ekuitas yang paling berpengaruh terhadap harga saham perusahaan di Bursa Efek Jakarta.


6. Kegunaan

Kegunaan penelitian diharapkan :

a. Dapat dipergunakan sebagai pedoman umum penetapan harga saham ketika akan melakukan IPO di Bursa Efek Jakarta.

b. Dapat dipergunakan sebagai alat prediksi harga saham dalam rangka menetapkan keputusan investasi di Bursa Efek Jakarta.

c. Sebagai bahan dalam rangka penelitian lanjutan.



BAB II LANDASAN TEORI

1. Tinjauan Pustaka

1.1. Konsep Nilai

Pada hakekatnya nilai dapat didefinisikan sebagai nilai uang yang diberikan kepada suatu aset pada suatu waktu tertentu.
a. Nilai Buku

Nilai buku (book value) adalah nilai bersih sebagaimana tercantum dalam laporan keuangan. Nilai buku merupakan konsep dari akuntansi konvensional yang secara sederhana dapat dihitung baik menyeluruh maupun per saham (Jacob dan Harahap, 2004). Menurut Jacob dan Harahap, para analis sering menggunakan nilai buku sebagai nilai likuiditas, misalnya dalam memperkirakan batas bawah harga saham yang ditolerir, karena dasar nilai buku ini dianggap sebagai batas aman atau ukuran safety plan dalam berinvestasi.

Menurut Siahaan (2003) nilai buku adalah nilai yang tetapkan menurut teknik akuntansi yang sudah di-standar-isir (sudah dibuat baku) dan dikalkulasi dari laporan keuangan terutama dari neraca yang dipersiapkan perusahaan. Nilai buku per saham biasa menurut Siahaan (2003) dihitung dengan membagi seluruh nilai ekuitas yang ada di neraca dengan jumlah saham yang beredar.

Penggunaan nilai buku untuk mengukur secara langsung nilai aktiva lancar dan hutang dapat dianggap mudah dan tepat, namun untuk menaksir nilai aktiva tetap akan mengalami kesulitan karena nilai bukunya seringkali jauh berbeda dengan harga pasarnya. Misalnya mengukur nilai tanah, dianggap lebih sulit lagi karena nilai buku historisnya selalu lebih rendah dari harga pasar. Untuk mengatasi hal ini maka dilakukan revaluasi atau penilaian kembali aktiva tetap berdasarkan metode tertentu atau menggunakan jasa profesi penilai, yang belakangan telah memperoleh ijin resmi dari Direktorat Jenderal Akuntan Publik dan Penilai, Departemen Keuangan. Namun perlu disadari bahwa semua jenis nilai buku masih memiliki measurement error (White et al, 2003.

Menurut White et al (2003) sebagaimana dikutip Jacob dan Harahap (2004) hubungan antara nilai buku dan nilai pasar dapat dipengaruhi oleh sifat assets, accounting reporting method, profitability dan kondisi umum ekonomi. Nilai buku merupakan hasil pilihan metode pelaporan manajemen untuk melaporkan posisi keuangan, revenue dan expenses pada satu saat dan selama periode tertentu. Manajemen dalam memilih metode pelaporan selalu mementingkan kepentingannya dan akhirnya dapat menimbulkan perbedaan nilai buku dan nilai pasar. Hal ini terjadi disebabkan antara lain adanya nonrecognition of economics obligation. Dalam hal perusahaan memiliki intangible assets, misalnya goodwill yang tidak dicatat dalam buku maka nilai buku perusahaan sering berbeda dengan nilai pasarnya.


b. Nilai Pasar

Nilai pasar adalah nilai yang didasarkan atas harga yang berlaku di pasar. Nilai pasar ekuitas berarti jumlah nilai yang dihitung berdasarkan jumlah saham yang beredar dikalikan dengan harga saham (closing price) di bursa pada suatu waktu tertentu. Sebagaimana dikemukakan oleh Sharpe, Alexander dan Bailey (2006), kapitalisasi pasar atas saham biasa perusahaan ditentukan dengan menggunakan harga pasar terakhir saham perusahaan dan mengalikannya dengan jumlah saham yang beredar.

Seandainya kita mengevaluasi perusahaan yang saham dan obligasinya diperdagangkan di pasar modal maka kita pasti dapat menentukan nilai pasar surat berharga perusahaan. Nilai tersebut adalah nilai saham atau obligasi menurut persepsi pasar terhadap perusahaan yang bersangkutan (Siahaan, 2003).

Di negara maju yang bursa sahamnya sudah efisien dan persentase saham publik sudah signifikan, harga saham dipakai sebagai salah satu tolok ukur untuk menilai kinerja Direksi suatu perusahaan publik. Semakin baik kinerja suatu perusahaan akan semakin tinggi harga sahamnya dan semakin besar nilai kapitalisasi pasarnya (Adityaswara, 2003). Ross (1997) mengungkapkan bahwa tujuan perusahaan adalah memaksimalisasi nilai bukan memaksimalisasi profit. Nilai perusahaan dalam penelitiannya diukur dengan tingkat harga pasar perusahaan di bursa. Pihak manajemen harus bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan pemegang saham melalui peningkatan harga pasar saham mereka di bursa.


c. Nilai Wajar

Berbeda dengan nilai buku dan nilai pasar yang masing-masing berpedoman kepada historical cost dan harga yang berlaku dipasar, nilai wajar merupakan nilai yang sesungguhnya yang didasarkan atas potensi laba atau potensi arus kas masa depan yang akan diperoleh. Secara lebih khusus Sharpe, Alexander dan Bailey (2006) menyebutkan bahwa nilai wajar atau disebut juga nilai intrinsik merupakan nilai yang sebenarnya dari saham suatu perusahaan. Apabila harga saham lebih tinggi dari nilai wajar per saham disebut over value dan apabila harga saham lebih rendah dari nilai wajar disebut under value.

Sementara itu Jogianto (2003) menggambarkan nilai intrinsik sebagai nilai fundamental atau nilai seharusnya, yang mana didasarkan atas pertimbangan bahwa besar kecilnya nilai dipengaruhi oleh kondisi fundamental perusahaan tersebut. Tinjauan tentang nilai intrinsik dan bagaimana menggunakannya menurut Siahaan (2003) adalah sebagai berikut :


Gambar 1
Prosedur Analisis dan Penggunaan Nilai Intrinsik





Sumber : Siahaan, 2003

Dalam kerangka penilaian usaha yang dilakukan oleh profesi penilai di Indonesia ada perbedaan antara nilai wajar dan nilai pasar wajar. Menurut Standar Penilaian Indonesia, 2002 : (1) Nilai wajar adalah jumlah uang untuk mana suatu aset dapat ditukar, atau suatu kewajiban diselesaikan di antara para pelaku pasar (pihak yang berkeinginan dan mengetahui) dalam transaksi penjualan yang wajar (arm's- length sale). Dalam kerangka Penilaian Usaha, Nilai Wajar merupakan Nilai dari perusahaan atau saham yang berlaku secara khusus untuk kasus adanya pemegang saham yang berbeda pendapat (dissenting shareholder). Nilai wajar adalah nilai yang berhak diterima seorang (sekelompok) pemegang saham yang menolak atas suatu tindakan (corporate action) yang dilakukan oleh pemegang saham mayoritas. (2) Sedangkan nilai pasar wajar adalah perkiraan jumlah uang tunai atau yang bersifat ekivalen yang dapat diperoleh dari suatu transaksi jual beli perusahaan atau saham atau kepentingan dalam perusahaan antara yang berminat membeli (willing buyer) dengan yang berminat menjual (willing seller) dimana keduanya memiliki kapasitas untuk melakukan suatu transaksi, bertindak tanpa ada keterpaksaan dan masing-masing memiliki fakta dan informasi yang relevan.

Dalam konsep penelitian ini nilai pasar wajar diartikan sama dengan nilai wajar atau nilai intrinsik. Emery dan Finnerty (1997) mengungkapkan bahwa penilaian perusahaan bukan merupakan ilmu pasti karena mengandung unsur proyeksi, asumsi, perkiraan dan judgement. Konsep dasar penilaian adalah (1) nilai ditentukan untuk suatu waktu atau periode tertentu, (2) nilai harus ditentukan pada harga yang wajar dan (3) penilaian tidak dipengaruhi oleh sekelompok pembeli tertentu.


1.2. Peranan Laporan Keuangan

Menganggap remeh akuntan dan laporan keuangan adalah populer di kalangan profesional keuangan dan eksekutif perusahaan. Dan dengan angka skandal laporan keuangan selama tahun-tahun terakhir telah semakin memperkuat pandangan tersebut dan selalu menjadi santapan empuk bagi para kritikus akuntansi (Young dan O'Bryne, 2001). Kendati demikian informasi akuntansi tetap menjadi sesuatu yang sangat penting, karena akuntansi merupakan media komunikasi diantara pelaku bisnis dan ekonomi (Warsidi, 2002).

Akuntansi lahir dengan tujuan untuk memberikan informasi keuangan yang dibutuhkan para pengguna informasi keuangan, baik internal maupun eksternal perusahaan untuk proses pengambilan keputusan. Informasi keuangan sebagaimana tersaji dalam laporan keuangan, berfungsi untuk memberikan gambaran mengenai posisi keuangan perusahaan pada saat tertentu, prestasi operasi dalam suatu rentang waktu tertentu, serta informasi-informasi lainnya yang berkaitan dengan perusahaan yang bersangkutan (Nurhidayati, 2004).

Menurut Warsidi (2002) ditinjau dari sudut pandang manajemen, laporan keuangan merupakan media bagi mereka untuk mengkomunikasikan performance keuangan perusahaan yang dikelolanya kepada pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkan ditinjau dari pemakai, informasi akuntansi diharapkan dapat digunakan untuk pengambilan keputusan yang rasional dalam praktek bisnis yang sehat. Tujuan laporan keuangan merupakan dasar awal dari struktur teori akuntansi. Ada banyak pendapat mengenai tujuan laporan keuangan, menurut Nurhidayati (1987), tujuan laporan keuangan diupayakan mempunyai cakupan yang luas agar dapat memenuhi berbagai kebutuhan para pemakai yang potensial, bukan hanya untuk kebutuhan khusus kelompok tertentu. Menurut Harahap (2002) untuk dapat memahami akuntansi, khususnya laporan keuangan maka ada baiknya menganalisa dan menguraikan terlebih dahulu struktur teori akuntansi keuangan agar lebih dapat mengenal satu demi satu elemen dari teori akuntansi. Struktur teori akuntansi menggambarkan susunan, hierarki dan konsep menyeluruh dari akuntansi dan metode atau cara menerapkannya secara lebih teknis dalam kegiatan penyajian laporan keuangan.

Laporan keuangan adalah merupakan hasil akhir dari suatu proses akuntansi, dimana laporan keuangan inilah yang menjadi bahan informasi bagi para pemakainya. Menurut Nurhidayati (2004), bagi para pihak pengguna laporan keuangan baik itu manajer perusahaan maupun pemakai menganalisa laporan keuangan merupakan tugas sangat penting. Menurut Bernstein (1983) sebagaimana dikutip Harahap (2002) analisa laporan keuangan mencakup penerapan metode dan teknik analisa atas laporan keuangan dan data lainnya untuk melihat dari laporan itu dan ukuran-ukuran dan hubungan tertentu yang sangat berguna dalam proses pengambabilan keputusan. Sedangkan tujuan analisa laporan keuangan menurut Bernstein (1983) adalah :

a. Screening.
Analisa dilakukan dengan melihat secara analitis laporan keuangan dengan tujuan untuk memilih kemungkinan investasi atau merger.

b. Forecasting.
Analisa digunakan untuk meramalkan kondisi keuangan perusahaan dimasa yang akan datang.

c. Diagnosis.
Analisa dimaksudkan untuk melihat kemungkinan adanya masalah-masalah yang terjadi baik dalam manajemen, operasi, keuangan atau masalah lain.

d. Evaluation.
Evaluasi dilakukan untuk menilai prestasi manajemen, operasi, efisiensi dan lain-lain


Masih menurut Harahap (2002) analisa laporan keuangan memiliki beberapa sifat, yaitu :

a. Fokus laporan laporan adalah Laporan Laba Rugi, Neraca dan Arus Kas yang merupakan akumulasi transaksi dari kejadian historis, dan penyebab terjadinya dalam suatu perusahaan.

b. Prediksi, analisa harus mengkaji implikasi kejadian yang sudah berlalu terhadap dampak dan prospek perkembangan keuangan dimasa yang akan datang.

c. Dasar analisa adalah laporan keuangan yang memiliki sifat dan prinsip tersendiri sehingga hasil analisa tergantung pada kualitas laporan dan penguasaan pada sifat akuntansi, prinsip akuntansi sangat diperlukan dalam menganalisa laporan keuangan.


1.3. Pendekatan dan Metode Penilaian

Salah satu tujuan analisa keuangan adalah mengidentifikasi nilai wajar suatu sekuritas. Analisa fundamental digunakan sebagai salah satu pendekatan untuk mengidentifikasi hal tersebut. Terdapat banyak cara untuk mengidentifikasi sekuritas, sebagian dari metode tersebut berhubungan langsung atau tidak langsung dengan metode yang disebut metode penilaian kapitalisasi pendapatan (Sharpe, Alexander dan Bailey, 2006). Metode ini menyebutkan bahwa nilai intrinsik setiap surat berharga adalah berdasar pada perkiraan arus kas yang akan diterima investor pada masa depan atas kepemilikan surat berharga tersebut. Secara aljabar menurut Sharpe, Alexander dan Bailey (2006) nilai intrinsik aset (V) sama dengan jumlah nilai sekarang (present value) dari ekspektasi arus kas, yaitu sebagai berikut :









dimana :  V = Nilai instrinsik
               C = Arus kas yang berhubungan dengan surat berharga
               k  = Tingkat diskonto (bunga bebas risiko + risiko)

Untuk menerapkan pendekatan analisa tersebut menurut Sharpe, Alexander dan Bailey (2006) dapat dilakukan dengan model tanpa pertumbuhan (zero growth model), model pertumbuhan tetap (constant growth model) dan model pertumbuhan bertahap (multiple growth model). Seperti digambarkan pada persamaan (2) diatas dalam menghitung nilai intrinsik jangka waktu diperhitungkan tidak terbatas (going concern), sehingga dalam keadaan tidak ada pertumbuhan (zero growth) arus kas persamaan tersebut dapat disederhanakan menjadi sebagai berikut :


           C
V = -------- 
           k

dimana : V = Nilai instrinsik
             C = Arus kas per tahun
              k = Tingkat kapitaliasi  (suku bunga bebas risiko + risiko)

Apabila arus kas diasusikan mengalami pertumbuhan maka persamaan tersebut diatas menjadi :

            C
 V = --------  
          k - g

dimana : g = pertumbuhan

Oleh karena investasi yang berkaitan dengan saham adalah arus kas berupa dividen yang diharapkan akan dibayarkan pada masa depan maka model penilaian tersebut sering disebut DDM atau model diskonto dividen (divident discount model). Akan tetapi menurut Miller dan Modigliani (1961) sebagaimana dikutip Sharpe, Alexander dan Bailey (2006) sumber yang paling mendasar atas saham adalah laba, bukan dividen. Implikasi dari pendapat tersebut adalah bahwa keputusan dividen menjadi relatif tidak penting dari sisi pemegang saham karena tidak mempengaruhi nilai investasi mereka pada perusahaan.

Penilaian Indonesia (SPI, 2002) ada 3 pendekatan yang dapat digunakan dalam menilai ekuitas, yaitu pendekatan pasar, pendekatan pendapatan dan pendekatan aktiva. Masing-masing pendekatan tersebut : (a) pendekatan pasar adalah pendekatan dimana nilai perusahaan atau ekuitas diperoleh dengan membandingkan ratio keuangan perusahaan yang dinilai dengan ratio perusahaan pembanding, (b) sedangkan pendekatan pendapatan adalah penilaian dimana nilai perusahaan atau ekuitas diperoleh dengan melihat kemampuan perusahaan menghasilkan pendapatan (return) atau arus kas dimasa lalu, saat ini maupun dimasa yang akan datang dan (c) pendekatan aktiva atau neraca adalah penilaian yang didasarkan atas nilai-nilai aktiva.

Dari tiap-tiap pendekatan tersebut terdapat beberapa metode yang dapat digunakan, namun metode yang paling banyak digunakan menurut Ruky (1999) adalah metode discounted cashflow atau discounted of economic income dan excess earning. Metode discounted cashflow (DCF) melihat aset sebagai present value dari aset tersebut. Model DCF ini dikembangkan oleh Wiese (1930) yang mengatakan bahwa harga suatu aset sekuritas apakah saham atau obligasi adalah jumlah dari seluruh pendapatan yang diterima di masa datang dengan diskon sebesar suku bunga saat ini untuk mendapatkan nilai present value-nya.

Selanjutnya William (1938) memasukan konsep dividen dan kesempatan investasi, menurutnya ; dividen dimasa datang tergantung kepada earning dimasa datang dan distribusi dividen tergantung kepada kebutuhan re-investasi dari bisnis tersebut. Gordon (1962) menggabungan hubungan antara harga saham, dividen, perkiraan pertumbuhan dividen dan besarnya diskon, yang kemudian dikenal dengan model pertumbuhan Gordon. Akan tetapi manurut Sharpe, Alexander dan Bailey (2006) keputusan investasi tidak berpengaruh, berapapun level dividen pemegang saham kini tidak akan untung atau rugi, atau disebut teorema ketidakrelevanan dividen (dividen irrelevancy theorem). Sharpe memberi contoh Plump Company yang memperoleh laba sebesar $ 5.000 dan berinvestasi sebesar $ 3.000. Jika dividen dibayarkan sebesar $ 2.000 maka pemegang saham 1% akan memperoleh uang tunai sebesar $ 20. Sebagai alternatif Plump Company membayarkan dividen sebesar $ 3.000 dan menerbitkan saham baru sebesar $ 1.000. Dalam situasi ini pemegang saham 1% memperoleh uang tunai sebesar $ 30 namun untuk mempertahankan persentase kepemilikannya harus membeli saham baru sebesar $ 10. Dari contoh ini terlihat bahwa jumlah kas yang diterima tidak berbeda dari kedua alternatif.


1.4. Laba Akuntansi, Laba Ekonomi dan Arus Kas

Untuk mengukur return dari sebuah investasi, dapat digunakan laba akuntansi (accounting earnings) atau arus kas (Damodaran, 1999). Menurut Domodaran (1999) laba akuntansi dihasilkan dari proses akuntansi dan disajikan dalam laporan laba rugi. Generally accepted accounting principle (GAAP) menyatakan bahwa pengakuan pendapatan terjadi pada saat transfer of title, tanpa melihat apakah perusahaan sudah atau belum menerima pembayaran. Biaya yang berkaitan langsung dengan pendapatan akan diakui pada periode yang sama dengan pengakuan pendapatan. Biaya lain yang tidak berkaitan langsung dengan pendapatan akan diakui pada periode terjadinya. Menurut Young dan O'Bryne (2001) beberapa ketidakpuasan terhadap akuntansi berakar dari keleluasaan manager dibawah GAAP, misalnya meskipun logika akrual memaksakan penghasilan pada saat terjadi, tidak perlu pada saat kas diterima, manager diberi keleluasaan untuk menentukan kapan penghasilan akan diakui dalam bisnisnya. Arus kas melaporkan aliran kas perusahaan selama periode tertentu yang diklasifikasikan menurut aktivitas operasi, investasi dan pendanaan. Jumlah arus kas yang berasal dari aktivitas operasi merupakan indikator yang menentukan apakah dari operasinya perusahaan dapat menghasilkan arus kas yang cukup untuk melunasi pinjaman, memelihara kemampuan operasi perusahaan, membayar dividen dan melakukan investasi baru tanpa mengandalkan pada sumber pendanaan dari luar (Pradhono, 2004).

Untuk memperbaiki kekurangan praktek pelaporan keuangan standar beberapa pengguna EVA (economic value added) menyesuaikan laba berdasarkan GAAP, dengan harapan bahwa penyesuaian akan menghasilkan angka yang lebih dapat diandalkan (Young dan O'Bryne, 2001). Arus kas selain berguna untuk menilai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan kas, juga dapat meningkatkan daya banding pelaporan kinerja operasi berbagai perusahaan karena dapat meniadakan pengaruh penggunaan perlakuan akuntansi yang berbeda terhadap transaksi dan peristiwa yang sama (Pradhono, 2004).

Gambaran di atas menunjukkan bahwa bisa terjadi laba akuntansi sangat berbeda dengan arus kas operasi. Menurut Damodaran (1999) ada tiga faktor signifikan yang menyebabkan perbedaan. Faktor-faktor berikut mempengaruhi laba akuntansi, tetapi tidak mempengaruhi arus kas, yaitu: (1) Operating versus capital expenditure, menurut akuntansi, pengeluaran yang diperkirakan mempunyai masa manfaat dalam beberapa periode akuntansi, tidak akan dikurangkan langsung ke pendapatan pada periode terjadinya, tetapi akan ditangguhkan dan akan dikurangkan atau dibebankan ke pendapatan beberapa periode yang akan datang, yang diperkirakan menerima manfaat dari pengeluaran tersebut. Sebaliknya, arus kas hanya memperhatikan saat terjadinya transaksi tunai. (2) Biaya-biaya non kas, beberapa jenis biaya yang bersifat non kas, seperti penyusutan dan amortisasi akan dikurangkan dari pendapatan untuk memperoleh earnings. (3) Accrual versus cash revenue and expenses, adanya perbedaan waktu antara pengakuan transaksi secara accrual dengan penerimaan atau pembayaran tunai akan menyebabkan perbedaan antara pendapatan dan biaya.

Emery dan Finnerty (1997) melakukan penelitian tentang nilai perusahaan dengan menggunakan arus kas. Penelitian mereka menyatakan bahwa apabila arus kas diterapkan dengan benar maka dapat membantu para investor dalam menentukan nilai perusahaan. Menurut Hackel dan Lavnat (1995) alat ukur yang ideal untuk menentukan nilai perusahaan, yang setidaknya bebas dari pengaruh penerapan kebijakan masing-masing entitas adalah arus kas. Mereka mengatakan bahwa analisa arus kas merupakan alat pengukuran yang sangat penting bagi investor. Hal ini dapat saja terjadi karena pengakuan jumlah keuntungan suatu entitas dalam periode yang sama bisa berbeda, meski angka maupun data yang diberikan sama. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan dalam metode akuntansi yang digunakan, estimasi akuntansinya dan faktor lain.

Menurut Ruky (1999) pada umumnya yang digunakan sebagai pendapatan adalah laba normal setelah pajak yang benar-benar mewakili kemampuan perusahaan dalam menghasilkan pendapatan. Yang dimaksud dengan laba normal menurut Ruky (1999) laba operasi setelah pajak (NOPAT, net operating after tax). Terlepas dari definisi mana yang digunakan laba yang digunakan adalah laba yang telah dinormalkan terlebih dahulu dengan menyesuaiankan unsur-unsur yang menyebabkan distorsi terhadap terciptanya nilai ekonomi.


1.5. EVA vs Excess Earnings

Economic Value Added (EVA) adalah Excess Earnings atau sama dengan Residual Income, yaitu sisa laba setelah semua penyedia kapital diberi kompensasi sesuai dengan tingkat pengembalian yang dibutuhkan atau semua cost of capital yang digunakan untuk menghasilkan laba tersebut dibebankan (Ruky, 1999). EVA merupakan modifikasi residual income, dengan melakukan penyesuaian terhadap Net Operating After Tax (NOPAT) dan capital, yang dianggap menyebabkan distorsi dalam model akuntansi untuk pengukuran kinerja (Pradhono, 2004). Hubungan antara arus kas operasi, earnings, residual income dan EVA adalah :


Gambar 2
Komponen-Komponen EVA



Sumber : Young dan O'Bryne (2001)

Perbedaan antara konsep EVA dan Excess Earnings adalah pada biaya modal. Menurut EVA biaya modal adalah biaya atas modal yang diinvestasikan (invested capital) sedangkan menurut excess earnings biaya modal adalah pegembalian atas aktiva berwujud bersih (cost of net tangible assets).

Menurut Ruky (1999) metode excess earnings didasarkan atas asumsi bahwa pendapatan yang dihasilkan merupakan hasil dari seluruh aktiva perusahaan baik berwujud maupun tidak berwujud. Bila pendapatan yang dihasilkan melebihi pengembalian yang wajar atas aktiva berwujud bersih maka kelebihan tersebut dianggap sebagai pengembalian aktiva tidak berwujud. Yang dimaksud dengan aktiva berwujud bersih adalah jumlah aktiva berwujud setelah dikurangi dengan hutang. Selanjutnya ekuitas diperoleh dengan menambahkan hasil kapitalisasi sisa laba (excess earnings) dengan aktiva berwujud bersih , atau dapat dirumuskan sebagai berikut :



dimana : V         = Nilai ekuitas.
             NTA    = Nilai aktiva berwujud bersih.
             CF      = Arus kas.
            WACC = Biaya modal rata-rata tertimbang
             IBD    = Hutang berbunga (interest bearing debt)
            knia     = Tingkat kapitalisasi aktiva tidak berwujud.


Sedangkan berdasarkan metode EVA (Young dan O'Bryne, 2001), nilai perusahaan adalah modal yang diinvestasikan ditambah nilai sekarang EVA dan nilai pengharapan peningkatan EVA atau dapat dirumuskan sebagai berikut :


             V = IC + (NOPAT - [IC * WACC]) + g 



dimana : V           = Nilai perusahaan.
             IC          = Modal yang diinvestasikan (invested capital).
             NOPAT = Laba operasi setelah pajak.
            WACC   = Biaya modal rata-rata tertimbang.
             g           = Peningkatan EVA.

Menurut Pradono (2004) EVA secara sepintas terlihat lebih accounting-based dari pada economic-measure, tapi pada kenyataannya pencipta EVA mengusulkan serangkaian penyesuaian untuk menyesuaikan pengukuran sehingga lebih mendekati basis arus kas ekonomis. Penyesuaian NOPAT dan modal yang diinvestasikan terutama dilakukan untuk (1) operating lease expense, (2) biaya penelitian dan pengembangan, biaya iklan dan promosi (4) metode penilaian persediaan, (5) pajak penghasilan ditangguhkan, (6) amortisasi goodwill dan (7) provisi untuk piutang ragu-ragu.


1.6. Weighted Average Cost of Capital

Pada saat seorang investor memutuskan untuk menginvestasikan uangnya ke dalam suatu usaha atau perusahaan maka dia kehilangan kesempatan untuk investasi pada usaha atau perusahaan yang lain. Biaya atas kehilangan kesempatan tersebut disebut opportunity cost yang besarnya sama dengan tingkat hasil (return) yang mungkin akan diperoleh dari investasi lain yang memiliki risiko sama. Opportunity cost ini adalah cost of capital perusahaan (Pradhono, 2004). Prinsip cost of capital menganut prinsip substitusi, dimana seorang investor tidak akan mau membiayai sebuah investasi jika ada investasi lain yang lebih menarik.

Menurut Pradhono (2004), cost of capital perusahaan adalah biaya setiap sumber modal, yang ditimbang sesuai dengan struktur modal perusahaan. Setiap komponen dalam struktur pembiayaan memiliki biaya tertentu dan komponen biaya-biaya tersebut membentuk biaya modal rata-rata tertimbang atau weighted average cost of capital . Komponen cost of capital berdasarkan struktur modal bisa dibedakan atas biaya hutang (cost of debts) dan biaya modal sendiri atau ekuitas (cost of equity). Biaya hutang pada umumnya akan sama dengan tingkat bunga hutang yang harus dibayar oleh perusahaan kepada kreditur. Pembiayaan hutang ini memberikan tax shield bagi perusahaan, sebesar marginal tax rate dari perusahaan yang bersangkutan. Setelah menentukan biaya hutang dan biaya ekuitas, maka biaya modal rata-rata tertimbang dihitung dengan formula :


WACC = (ke * We) + ([kd* (1-t)] * Wd)

dimana : WACC = Biaya modal rata-rata tertimbang.
             ke        = Biaya modal sendiri.
             We       = Persentase ekuitas dalam struktur modal perusahaan.
             kd        = Biaya hutang.
            Wd       = Persentase hutang dalam struktur modal perusahaan.
            t           = Pajak.

Alasan penggunaan biaya hutang setelah pajak dalam menghitung biaya modal rata-rata tertimbang menurut Brigham dan Houston (2001), bunga merupakan biaya yang bisa dikurangkan sehingga menghasilkan penghematan pajak yang mengurangi biaya hutang bersih, yang menyebabkan biaya hutang setelah pajak lebih kecil dari biaya hutang sebelum pajak.

Biaya ekuitas bisa dihitung dengan menggunakan capital asset pricing model, build up model ataupun arbitrase pricing model (Jogianto, 2003). Capital Asset Pricing Model (CAPM) adalah sebuah teori portfolio yang dipublikasikan pertama sekali oleh Sharpe (1964), Lintner (1965) dan Mossin (1969), sehingga sering disebut model CAPM model Sharpe-Lintner-Mossin. Teori CAPM sendiri merupakan pengembangan teori portfolio yang diintroduksi oleh Harry Markowitz (1952).

Menurut Brigham dan Houston (2001) CAPM adalah suatu alat penting yang digunakan untuk menganalisa hubungan antara risiko dan tingkat pengembalian. Kesimpulan utama dari CAPM adalah risiko yang relevan dari saham individu adalah kontribusinya terhadap risiko portfolio yang didiversifikasi dengan baik.
Model standar dari CAPM menurut Sharpe (1964) adalah sebagai berikut :


E(Ri) = Rf +β {E(Rm) - Rf }

dimana : E(Ri)   = Tingkat pengembalian (return) diharapkan.
             Rf        = Suku bunga bebas risiko.
             β         = Sensitivitas tingkat pengembalian perusahaan terhadap tingkat pengembalian pasar.
             E(Rm) = Tingkat pengembalian portfolio pasar secara keseluruhan.

Menurut Brigham dan Houston (2001) suku bunga bebas risiko adalah suku bunga atas sekuritas bebas risiko total, yaitu; tanpa risiko kegagalan, tanpa risiko jatuh tempo, tanpa risiko likuiditas dan tanpa risiko kerugian jika inflasi meningkat. Salah satu sekuritas yang bebas dari semua risiko tersebut adalah Treasury Bill (T-bill) yang merupakan sekuritas jangka pendek yang dikeluarkan pemerintah AS.


1.7. Beta Risiko

CAPM membuat beberapa asumsi mengenai perilaku investor, terpenting diantaranya adalah (1) bahwa investor merupakan penghindar risiko dan (2) investor yang menghindari risiko tersebut memilih untuk berdiversifikasi. Meskipun harga saham untuk semua saham cenderung bergerak naik turun bersama-sama tetapi terdapat pergerakan saham untuk saham individu tertentu yang tidak berkaitan dengan ekonomi makro atau faktor pasar luas. Sebagai gantinya pergerakan harga saham ini dikendalikan oleh situasi unik perusahaan tersebut. Dalam model CAPM risiko pasar disebut risiko sistematis dan risiko spesifik perusahaan disebut risiko tidak sistematis, seperti dijabarkan berikut ini (Young dan O'Bryne, 2001) :

Risiko total = risiko pasar + risiko spesifik
                  = risiko sistematis + risiko tidak sistematis
                  = risiko tidak dapat didiversifikasi + risiko dapat didiversifikasi

Pasar diasumsikan memberi imbalan bagi investor dalam proporsi terhadap jumlah risiko sistematis yang mereka bersedia untuk menanggungnya. Dengan perkataan lain semakin besar risiko sistematis semakin besar harapan pengembalian. Beta adalah pengukur volatilitas return suatu sekuritas atau portfolio terhadap return pasar, sementara volatilitas adalah fluktuasi dari return-return suatu sekuritas dalam suatu periode tertentu (Jogianto, 2003). Menurut Jogianto (2003) beta sekuritas mengukur volatilitas return sekuritas terhadap return pasar, beta portfolio mengukur return portfolio terhadap return pasar, dengan demikian beta merupakan pengukur risiko sistematis dari suatu saham atau sekuritas atau portfolio relatif terhadap risiko pasar.

Mengetahui beta suatu sekuritas sangat penting karena besaran beta menunjukkan besaran risiko sistematis yang tidak dapat dihilangkan dengan diversifikasi. Per definisi rata-rata beta dalam pasar tertentu adalah 1, perusahaan berisiko memiliki beta lebih dari 1 dan perusahaan yang berisiko lebih sedikit memiliki beta kurang dari 1 (Young dan O'Bryne, 2001). Menurut Kivenko (2002) risiko sistematik mencakup risiko nilai tukar, risiko risiko inflasi, risiko investasi luar negeri, risiko politik dan regulasi, risiko tingkat suku bunga, risiko ekonomi dan risiko terorisme. Risiko-risiko ini tidak dapat dieliminasi dengan diversifikasi.

Banyak perusahaan sekuritas yang menyediakan infomasi mengenai beta perusahaan-perusahaan yang tercatat di Bursa, seperti Bloomberg, Merill Lynch dan lain-lain. Akan tetapi di Indonesia, khususnya perusahaan-perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Jakarta, informasi mengenai beta ini agak sulit didapatkan, sehingga harus dihitung berdasarkan historis return saham perusahaan yang bersangkutan.

Menurut Goetzmann (2001) pada prakteknya beta dihitung berdasarkan data historis menggunakan teknik regresi, akan tetapi kalau data historis tidak tersedia berdasarkan perbandingan industri dapat dilakukan.

Menurut Jogianto (2003) secara manual beta historis perusahaan dapat dihitung berdasarkan data historis harga saham bulanan, mingguan atau harian yang dibandingkan dengan indeks saham pasar. Nilai beta dapat diperoleh dengan beberapa cara, diantaranya scatter, regresi dan kovarian. Jika diukur dengan kovarian maka kovarian return antara saham i dengan return pasar adalah sebesar Cov(i,M). Jika kovarian ini dihubungkan relatif terhadap risiko pasar maka hasilnya akan mengukur risiko saham relatif terhadap risiko pasar (Jogianto, 2003). Dengan demikian beta dapat dihitung dengan sebagai berikut :




Hasil penelitian empiris menunjukkan bahwa beta suatu perusahaan pada umumnya berubah dari waktu ke waktu dan memiliki kecenderungan bergerak kembali ke tingkat rata-rata, dimana nilai ekstrim akan cenderung semakin moderat. Oleh karena itu tanpa informasi sama sekali akan masuk akal untuk mengestimasi beta saham sama dengan 1,0. Jilka telah ada kesempatan melihat bagaimana saham bergerak relatif terhadap indeks pasar untuk periode tertentu modifikasi beta sebelum estimasi kelihatanya layak dilakukan (Sharpe, Alexander dan Bailey, 2006). Prosedur formal untuk melakukan modifikasi beta menurut Sharpe, sebagaimana telah diadopsi oleh sebagian besar perusahaan investasi adalah dengan memberikan perkiraan bobot 34% ke rata-rata beta pasar 1,0 dan bobot sebesar 66% ke estimasi beta historis, seperti disajikan berikut ini.

β adj = [0,34 * 1] + [0,66 * βh ]

dimana : β adj = Beta yang disesuaikan.
             βh     = Beta historis.

Beta perusahaan tertentu mencerminkan tingkat sensitivitas nilai agregat perusahaan tersebut terhadap perubahan nilai portfolio pasar. Beta tersebut tergantung pada permintaan produk dan biaya operasi perusahaan tersebut. Perusahaan yang memiliki siklus permintaan tinggi dengan biaya variabel rendah cenderung memiliki beta yang lebih tinggi dibanding perusahaan yang memiliki permintaan stabil dengan biaya variabel tinggi karena mereka memiliki variabilitas EBIT (laba sebelum pajak) lebih tinggi. Disamping itu pada umumnya perusahaan memiliki sumber pemodalan yang terdiri dari hutang dan ekuitas, artinya beta ekuitas perusahaan juga tergantung pada financial leverage perusahaan tersebut.

Menurut Goetzmann (2001) setiap perusahaan mempunyai level hutang yang berbeda, dan semakin tinggi level hutang semakin tinggi leverage dan semakin tinggi beta. Untuk menghitung beta leverage menurut Goetzmann adalah sebagai berikut :




dimana βE = Beta ekuitas (leverage beta).
           βA = Beta aset (unleverage beta).
           D   = Jumlah Hutang
           E   = Jumlah ekuitas

Persamaan diatas jika dimasukkan dampak pajak terhadap bunga hutang maka persamaan tersebut menjadi sebagai berikut :





dimana t = Tarif pajak.


1.8. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai pengaruh nilai wajar terhadap harga saham, khususnya di Indonesia atau lebih spesifik lagi di Bursa Efek Jakarta belum pernah dilakukan. Akan tetapi penelitian-penelitian yang mempertimbangkan variabel kondisi fundamental, terutama earning, arus kas operasi dan EVA telah banyak dilakukan, diantaranya adalah :

Penelitian Pradhono (2004) yang berjudul "Pengaruh economic value added, residual income, earnings dan arus kas operasi terhadap return yang diterima pemegang saham". Persamaannya dengan penelitian ini pada tolok ukur yang digunakan, sedangkan perbedaannya dalam penelitian tersebut semua tolok digunakan sebagai variabel sementara dalam penelitian masing-masing tolok ukur tersebut digunakan sebagai dasar dalam menghitung nilai wajar ekuitas, selanjutnya nilai ekuitas per saham masing-masing tolok ukur dibandingkan dengan harga saham perusahaan.
Penelitian Siahaan (2003) yang berjudul "Analisa saham dengan menggunakan Gordon Model". Persamaannya pada formula dan nilai yang digunakan, yaitu nilai instrinsik atau nilai wajar. Sedangkan perbedaannya adalah bahwa penelitian yang dilakukan Siahaan menggunakan tolok ukur dividen payout dan tidak dikaitkan dengan harga saham dipasar.

Penelitian Fernandez (2001) yang berjudul "EVA, Economic profit and cash value added do not measure shareholder value creation". Persamaannya adalah pada topik penelitian, yaitu membandingkan EVA dengan ukuran kinerja yang lain. Perbedaannya adalah penelitian Fernandez mengkorelasikan antara kenaikan Market Value Added (MVA) tiap tahun terhadap nilai EVA, NOPAT dan WACC tahun yang bersangkutan, yang ternyata kemudian menunjukkan hasil bahwa korelasi antara kenaikan MVA dengan variabel NOPAT memiliki nilai yang terbesar dibandingkan variabel yang lain.


2. Kerangka Berpikir

Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, salah satu tujuan analisa keuangan adalah mengidentifikasi nilai wajar, analisa fundamental digunakan sebagai salah satu pendekatan untuk mengidentifikasi hal tersebut (Sharpe, Alexander dan Bailey, 2001). Seberapa jauh sebenarnya pengaruh nilai wajar terhadap harga saham perusahaan di Bursa Efek Jakarta.

Terdapat banyak cara untuk mengidentifikasi sekuritas (Sharpe, Alexander dan Bailey, 2006), dari tiap-tiap pendekatan terdapat beberapa metode yang dapat digunakan (Ruky, 1999). Diantara metode direct capitalization, excess earnings dan economic value added metode mana paling yang mampu mengidentifikasi nilai wajar dan berpengaruh terhadap harga saham perusahaan di Bursa Efek Jakarta.

Untuk mengukur return sebuah investasi dapat digunakan laba akuntansi atau arus kas (Damodaran, 1999). Alat ukur yang ideal untuk menentukan nilai perusahaan, yang setidaknya bebas dari pengaruh entitas adalah arus kas (Heckel dan Lavnat, 1995). Terlepas dari definisi mana laba yang digunakan adalah laba yang telah dinormalkan terlebih dahulu dengan menyesuaikan unsur-unsur yang menyebabkan distorsi terhadap terciptanya nilai ekonomis. Benarkah laba ekonomis dan arus kas lebih mampu mengidentifikasi nilai wajar ekuitas.

Berdasarkan hal-hal sebagaimana diuraikan diatas maka pengujian yang akan dilakukan dalam rangka melaksanakan kerangka berpikir peneliti adalah seperti disajikan berikut :

Gambar 3
Kerangka Penelitian


3. Hipotesis

Dari uraian-uraian diatas disimpulkan bahwa untuk mengidentifikasi nilai wajar dapat digunakan berbagai metode dan tolok ukur, namun penelitian empiris menunjukan bahwa pendekatan arus kas lebih memberikan hasil yang meyakinkan dibanding pendekatan laba akuntansi maupun laba ekonomi. Dengan demikian Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut :

Ho1 : Nilai wajar ekuitas hasil metode direct capitalization baik dengan tolok ukur laba akuntansi, laba ekonomi maupun arus kas tidak berpengaruh terhadap harga saham perusahaan di Bursa Efek Jakarta .

Ho2 : Nilai wajar ekuitas hasil metode excess earnings baik dengan tolok ukur laba akuntansi, laba ekonomi maupun arus kas tidak berpengaruh terhadap harga saham perusahaan di Bursa Efek Jakarta.

Ho3 : Nilai wajar ekuitas hasil metode economic value added baik dengan tolok ukur laba akuntansi, laba ekonomi maupun arus kas tidak berpengaruh terhadap harga saham perusahaan di Bursa Efek Jakarta.

Ho4 : Nilai wajar ekuitas dengan tolok ukur arus kas paling berpengaruh terhadap harga saham perusahaan di Bursa Efek Jakarta.






1 komentar:

  1. Saya tertarik dengan topik yang ada di postingan ini. Apakah saya bisa mengakses untuk mendapatkan full version nya ? inshaaAllah sebagai bahan rujukan penyusunan skripsi saya. terimakasih

    BalasHapus